MANDIRI

Selasa, 04 Mei 2010

AMBIGU

A. Pengertian ambiguitas
Ambiguitas Bahasa merupakan salah satu faktor penyebab tidak efektif dan tidak komunikatifnya suatu tulisan atau tuturan nonfiksi ialah karena adanya ambiguitas atau ketaksaan. Ambigu berarti bermakna lebih dari satu, sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan, dan sebagainya. Ambiguitas berarti sifat atau hal bermakna dua; kemungkinan yang mempunyai dua pengertian; kemungkinan adanya makna lebih dari satu dalam sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat. Ambiguitas sering juga disebut ketaksaan (Alwi via Google, 2002 : 36).
Penggunaan bahasa yang mengandung ambiguitas dapat membuat tidak efektifnya tuturan atau tulisan bagi pendengar atau pembaca. Karangan atau pembicaraan yang bersifat nonfiksi adalah tulisan atau tuturan yang menyajikan suatu fakta, data, atau suatu kenyataan, sesuatu yang sungguh-sungguh ada dalam dunia nyata. Lain halnya dalam karangan atau tuturan fiktif, ambiguitas justru merupakan suatu syarat pokok untuk menambah kekuatan karangan fiksi, misalnya puisi, menjadi bernilai sastra tinggi. Batasan ambiguitas tersebut memberi pemahaman kepada kita bahwa ambiguitas dalam berbahasa terjadi pada pihak pembaca atau pendengar. Tidak sedikit bahasa di media massa yang menjadi konsumsi masyarakat luas menggunakan bahasa yang ambigu. Penulis berita atau artikel sering tidak menyadari kalau apa yang diungkapkannya menimbulkan makna ganda bagi pembacanya. Ketika kata, frase, kalimat, atau bahkan paragraf yang kita tulis atau kita ucapkan mengandung ambiguitas, secara otomatis tidak efektif dan komunikatif bagi pembaca atau pendengar. Misalnya, ‘’Sopir membiarkan para penumpang naik dan turun di tengah jalan raya karena ketidakdisiplinnya.’’ Siapa yang tidak disiplin yang dimaksudkan penulis, apakah sopir atau penumpang?
Menurut ( Chaer, 2002 : 104 ), Ambiguitas merupakan ketaksaan yang sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Dalam kegandaan makna dalam Ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya, frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1). Buku sejarah baru itu baru terbit, atau (2). Buku itu berisi sejarah zaman baru. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Tetapi dalam bahasa tulis penafsiran ganda ini dapat saja terjadi jika penanda-penanda ejaan tidak lengkap diberikan. Barangkali kalau contoh buku sejarah baru dimaksudkan untuk makna atau penafsiran(1), maka sebaiknya ditulis buku – Sejarah baru: tetapi jika dimaksudkan makna atau penafsiran (2), maka sebaiknya ditulis buku sejarah – baru. Jadi, yang pertama antara kata buku dan sejarah diberi tanda hubung (-) sedangkan pada yang ke dua tanda hubung itu diletakan antara kata sejarah dan kata baru.
Sedangkan menurut ( Ullmann, 1972 : 156 ), Ambiguitas timbul dalam berbagai variasi ujaran atau bahasa tertulis. Kalau kita mendengar ujaran seseorang atau membaca sebuah tulisan kadang-kadang kita sulit memahami apa yang di ujarkan atau yang kita baca. Misalnya kalau kita membaca atau mendengarkan ujaran orang kita tidak memahami apa yang dimaksud dengan kata orang itu. Bermacam-macam tafsiran kita, misalnya kata orang gorontalo apakah orang yang mengalami ketakutan karena melihat orang atau apakah orang yang sedang menjawab pertanyaan polisi lalulintas karena salah jalan?. Ullmann juga mengatakan, “ Ambiguity is a linguistic condition which can arise in a variety of ways.” Pada contoh ini misalnya kata buku, banyak pertanyaan yang dapat diajukan, misalnya (i) buku siapa: (ii) buku dimana: (iii) buku apa: (iv) apakah buku yang bersampul atau tidak: (v) buku yang berwarna apa : (vi) apakah buku tulis atau buku cetak: (vii) apakah buku gambar atau buku tulis biasa: (viii) apakah buku yang mahal atau yang murah. Jika kata itu diujar oleh seseorang, kita masih dapat menanyakan kepadanya, apakah yang ia maksud dengan buku. Dan apabila diamati secara lebih cermat, baik kata maupun kalimat memang masih menimbulkan keraguan pada kita. Keraguan itu hilang, jika pembicara mengukuhkan makna kata atau kalimat yang diujarkan.